Ciputra Artpreneur Gelar Diskusi “Melacak Lukisan Palsu” dan Pameran “Maestro Beserta Epigonnya”
Ciputra Artpreneur bekerjasama dengan Perkumpulan Pecinta Senirupa Indonesia dan Kepustakaan Populer Gramedia menggelar diskusi dan peluncuran buku bertema “Melacak Lukisan Palsu”, disertai dengan pameran lukisan “Maestro Beserta Para Epigonnya”. Kegiatan yang dihadiri oleh para kolektor, seniman, wartawan, pengelola galeri/museum, akademisi, serta para kritikus seni rupa dilangsungkan di Galleri Ciputra Artpreneur.
Presiden Direktur Ciputra Artpreneur Rina Ciputra Sastrawinata dalam sambutannya menyampaikan bahwa sangat sulit memberantas praktik pemalsuan lukisan di Indonesia. Karenanya, pemberantasan praktik pemalsuan lukisan tidak hanya menjadi tanggung jawab satu atau dua pihak saja. Perlu sinergi yang kuat antara berbagai pihak mulai pemerintah, kolektor, pengelola museum, kurator, dan pihak lain.
“Oleh karenanya, dalam diskusi buku ini diharapkan ada sebuah solusi tentang bagaimana cara menghentikan praktik pemalsuan lukisan ini. Seperti diketahui juga bahwa Ayah saya, Pak Ciputra, punya kedekatan dengan Hendra Gunawan. Sebagai bentuk kecintaannya terhadap karya-karya Hendra, ayah saya pun memutuskan untuk membangun sebuah museum untuk melestarikan karya-karya seniman tersebut,” katanya.
Ketua Perkumpulan Pecinta Senirupa Indonesia (PPSI) Budi Setiadharma menekankan bahwa setiap pengelola Museum di Indonesia harus menghindari pemasangan karya seni yang asal-usulnya masih tidak jelas. Alasannya, hal tersebut akan membuka jalan bagi praktik perdagangan yang tidak benar, terutama dalam dunia seni rupa.
“Menurut saya, tidak masalah jika seorang seniman ingin meniru gaya melukis seorang maestro seni. Tapi janganlah mentah-mentah meniru karyanya, karena ini termasuk praktik pemalsuan. Tapi tirulah saja gaya melukisnya. Dari sinilah, PPSI ingin mendorong para seniman muda untuk lebih kreatif menghasilkan karya-karyanya sendiri,” katanya.
Agus Dermawan, salah satu pembicara menyampaikan bahwa asli atau tidaknya sebuah karya seni itu bisa bisa dilihat dari tiga aspek, yakni aspek visual, aspek uji laboratorium, dan berdasarkan catatan sang seniman. Jika secara visual tidak meyakinkan, maka perlu dilakukan tes forensik di laboratorium. Dan jika masih belum meyakinkan lagi, maka kita bisa melacaknya berdasarkan dari catatan karya sang seniman.
“Sayangnya, di Indonesia saat ini masih belum banyak fasilitas laboratorium forensik untuk menguji keaslian sebuah lukisan. Selain itu, mayoritas seniman Indonesia juga belum memiliki catatan hasil karya mereka. Hal-hal inilah yang perlu didorong agar praktik pemalsuan lukisan ini bisa diberantas,” kata Agus.
Syakieb Sungkar, pembicara diskusi mengatakan bahwa buku “Melacak Lukisan Palsu” merupakan catatan terbaru yang membahas seluk beluk jaringan bisnis lukisan palsu di Indonesia. Perlu diketahui bahwa sejak dua puluh tahun belakangan ini lukisan para maestro Indonesia banyak digemari para kolektor. Contohnya lukisan karya Raden Saleh, Hendra Gunawan, S. Sudjojono, Lee Man Fong, Le Mayeur dan Affandi. Harga lukisannya sudah mencapai puluhan hingga ratusan milyar rupiah. Hal ini membuat para pemalsu lukisan untuk membuat duplikat gaya melukis para maestro tersebut.
“Dan untuk lebih meyakinkan para pembeli, lukisan itu diberikan tanda tangan palsu, lengkap dengan sertifikat yang dipalsukan. Selain itu, kanvas dan cat pun direkayasa agar nampak tua. Mereka juga menggunakan bingkai dan paku tua agar nampak asli,” kata Syakieb.
Pameran lukisan “Maestro dan Para Epigonnya” ini menampilkan 26 lukisan karya Dullah, Gung Man, Affandi, Kartika Affandi, Men Sagan, Arie Smit, Kok Poo, Inanta, I Gusti Agung Wiranata, I Gusti Agung Galuh, Kepakisan, dan Walter Spies.Acara ini berlangsung mulai dari 22 – 25 November 2018.