Enter your keyword

News

Ciputra, Megawati, dan Falsafah Telur Columbus

Ciputra, Megawati, dan Falsafah Telur Columbus

Presiden Ke-5 Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri baru saja menyelesaikan pidato yang membahas biografi Ciputra, “The Passion of My Life”, ketika sang pemilik kisah, Dr (HC) Ir Ciputra, naik panggung.

Sejurus kemudian, Ciputra meraih mikrofon dan berbicara perlahan. “Untuk menandai peluncuran buku ini, saya ingin Ibu melakukan demonstrasi di sini,” tutur pria yang akrab disapa Pak Ci itu kepada Megawati.

Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) tersebut merupakan salah satu dari jajaran tamu kehormatan di acara Founders Day 2017 Ciputra Group sekaligus perayaan ulang tahun ke-36 kelompok usaha ini di Auditorium Ciputra Artpreneur, Jakarta, Rabu (29/11).

Di atas panggung, Megawati yang berbalut kebaya biru muda cerah dan kain berwarna senada, ditemani oleh Pak Ci dan anak maupun menantunya, serta Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo.

Pak Ci pun memberikan tantangan kepada Megawati, yaitu bagaimana membuat sebutir telur rebus berdiri tegak di atas meja tanpa dipegangi sedikitpun. Sambil menyanggupi tantangan tersebut, putri kedua Presiden Pertama RI Soekarno itu bertutur tentang kebiasaan makan di keluarganya.

“Anak-anak saya tidak suka makan telur. Jadi untuk membujuk mereka, saya suka [ber]pura-pura menjadi tukang sulap. Saya mengatakan kepada anak-anak, kalau saya bisa membuat telur ini berdiri tanpa dipegangi, mereka harus mau memakannya,” kenang Mega disambut tawa hadirin.

Lantas, dengan cekatan Mega menancapkan telur di atas meja yang telah disediakan, hingga membuatnya berdiri tanpa disangga. Aksi tersebut diikuti Pak Ci, putra-putrinya, serta Agus untuk menandai resminya peluncuran buku setebal 600 halaman yang ditulis oleh Albethine Endah itu.

Jika diperhatikan dengan seksama, aksi tersebut bukan sekadar gimmick untuk menampilkan sesuatu yang berbeda dari sebuah acara peluncuran buku. Ada makna filosofis yang hendak disampaikan Pak Ci dibalik permainan yang disebut Telur Columbus itu.

Trik sederhana itu konon pertama kali dilakukan oleh Christopher Columbus saat sedang menghadiri jamuan makan malam di Spanyol dalam rangka pemberian anugerah penghargaan atas pencapaiannya menemukan ‘dunia baru’, yaitu Benua Amerika.

Di tengah jamuan, tiba-tiba ada seseorang yang mencelanya dengan mengatakan bahwa menemukan benua baru bukan hal spektakuler, karena siapa saja bisa melakukannya. Merespons hal tersebut, Columbus menantang semua yang hadir di jamuan itu untuk membuat sebutir telur berdiri tegak tanpa dipegangi.

Setelah dicoba dan tidak ada yang berhasil, Columbus mengambil telurnya dan sedikit meretakkan bagian bawah telur itu lalu menaruhnya secara vertikal di atas meja. Semua orang terkejut, dan saat itulah dia berseru, “Ini adalah hal yang paling sederhana di dunia. Setiap orang bisa melakukannya dengan mudah, tapi setelah ditunjukkan bagaimana caranya.”

Makna dibalik Telur Columbus itu merupakan refleksi dari apa yang telah dihadapi Ciputra. Saat ini, orang lebih mengenalnya sebagai taipan yang menggawangi imperium pengembang PT Pembangunan Jaya (1961), PT Metropolitan Development (1970), dan Ciputra Group (1981).

Banyak yang mengira pria 86 tahun itu adalah konglomerat yang kaya sejak lahir dan tidak pernah mengenal hidup susah. Itulah sebabnya, banyak orang berceloteh, “Yah, mudah saja bagi seorang Ciputra untuk mendirikan kerajaan bisnisnya dan menjadi filantrofis nomor satu di Indonesia.”

Padahal, transformasi seorang Tjie Tjin Hoan menjadi pengusaha sukses bernama Ciputra ini dilalui dengan jalan terjal dan perjuangan yang luar biasa berat. “Saya hanya memiliki tenaga yang digerakkan oleh cita-cita dan mimpi,” ujar ayah dari Rina, Junita, Cakra, dan Candra Ciputra itu.

Lahir dari keluarga sederhana di Parigi, Sulawesi Tengah, Ciputra mengaku tidak bisa meninggalkan luka batin yang dia alami selama masa kecilnya. Namun, luka itulah yang menjadi pembakar semangatnya untuk melawan keadaan.

Ketika ayahnya dibawa tentara Jepang, keluarga Pak Ci tinggal di rumah gubug dan hanya memiliki dua ekor sapi. Untuk bisa makan, terkadang Pak Ci harus berburu di hutan. “Waktu itu, saya mengambil keputusan bahwa untuk bisa maju saya harus sekolah. Saya memberikan semua hal supaya bisa sekolah terus,” ungkap dia.

Menjalani hidup dengan serba keterbatasan, Pak Ci dan keluarganya kerap menelan hinaan dari orang lain. Namun, dia berhasil membuktikan diri sebagai pria yang bermartabat dengan menimba ilmu arsitektur di Institut Teknologi Bandung.

Saat masih menjadi mahasiswa, Pak Ci sudah berjuang mendirikan CV Daya Cipta yang sekarang menjadi PT Perentjana Djaja. Pada 1961, gebrakan besar dimulai dengan menggawangi PT Pembangunan Jaya.

Perusahaan itu pula yang menjadi batu lompatan untuk melobi proyek pengembangan DKI Jakarta kepada Gubernur DKI saat itu, Soemarno Sosroatomdjo. Dia menawarkan konsep pembangunan daerah Ancol di Jakarta Utara menjadi pusat rekreasi rakyat.

Bersama Soemarno, Ciputra diundang langsung untuk bertemu Presiden Soekarno untuk membicarakan proyek yang tampak mustahil untuk dilakukan pada saat itu. Apalagi, wilayah Ancol waktu itu masih berwujud rawa-rawa dan terkenal rawan kriminalitas.

“Saya ingat betul ayah saya, Bung Karno, sering mengajak saya makan sate madura di daerah Marunda. Setiap ke sana, kami selalu melewati daerah Ancol. Dan saat itu ayah saya berkata bahwa suatu saat Ancol tidak lagi menjadi sarang monyet, tetapi sebuah tempat rekreasi,” ujar Mega.

Menurut Mega, ayahnya bercerita ada pengusaha bernama Ciputra yang berjanji akan merombak wajah Ancol. “Sejak saat itu akhirnya nama Ciputra melekat dalam memori saya dan saya terus mengikuti kisahnya, meskipun saya tidak tahu ternyata masa lalunya penuh penderitaan.”

Saat ini, Taman Impian Jaya Ancol merupakan salah satu ikon Jakarta. Generasi muda mungkin menganggapnya sebagai hal biasa, tetapi mereka tidak menyadari bahwa situs tersebut merupakan perwujudan janji dan mimpi besar dari Tjie Tjin Hoan Si Anak Parigi.

Catatan hidup Pak Ci menjadi inspirasi banyak orang, termasuk Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardjojo. Baginya, suami Dian Sumeler itu adalah sosok yang visioner, punya mimpi besar, tekat kuat, pekerja keras, sederhana, berkomitmen tinggi, dan konsisten dalam menggapai mimpi.

“Ciputra adalah figur yang menjunjung tinggi standar profesionalisme. Bukan sekadar maestro properti dan pengembang, dia adalah wirausahawan sejati. Integritas dan kejujuran yang dimilikinya adalah karakter utama dari seorang pemimpin,” kata Agus.

Saat ini, setelah 36 tahun berkiprah, Ciputra Group telah merambah lebih dari 45 kota di Indonesia dan luar negeri dengan lebih dari 130 proyek mulai dari residensial, komersial, hotel, lapangan golf, dan lain sebagainya.

Hanya dengan berbekal modal Rp10 juta, Pak Ci berhasil membuktikan bahwa dengan determinasi tinggi, kapital kecil bisa dikembangkan menjadi sebuah korporasi raksasa seperti PT Ciputra Development Tbk. dengan aset Rp32 triliun.

“Semua proyek saya harus ada telur Columbus-nya. Harus ada sesuatu yang berbeda,” ungkap Pak Ci.

Presiden Direktur Ciputra Group, Candra Ciputra, mengatakan di usia perusahaannya yang sudah lebih dari 3 dekade, pihaknya berkomitmen untuk meningkatkan kualitas hidup para pemangku kepentingan dan memberi dampak yang berkelanjutan bagi Tanah Air.

“Oleh karena itu, visi [Pak Ci] yang terpelihara baik tersebut diangkat dalam selebrasi [peluncuran buku biografi Ciputra] yang bisa diberi tema Sustainable Innovation.” Dia berharap semangat ayahnya bisa menjadi inspirasi generasi muda untuk memiliki jiwa kewirausahaan.

(Sumber : Harian Bisnis Indonesia)